Kualitas Hidup
Selasa, Maret 08, 2011 | Author: felix prima ardy

Pak Permana meninggal dunia," kata teman saya di telepon. Saya

terkesiap. Dua hari lalu saya sempat bertemu dengan Pak Permana.

Masih segar bugar. Kami ngobrol ngalor-ngidul, sambil bersenda gurau dan

tertawa-tawa. Tidak ada tanda-tanda sedikit pun hidup Pak Permana akan

sesingkat itu. Rupanya, Pak Permana terkena serangan jantung.

Sehabis bermain tenis, ia mengeluh dadanya sakit. Lalu, tidak lama

sesudah itu ia pingsan. Dalam perjalanan ke rumah sakit, ia mengembuskan

napasnya yang terakhir.


Begitulah hidup. Sangat ringkih. Bisa dibilang, kita ini berada di bawah

bayang-bayang kematian. Setiap saat kita bisa dijemput oleh kematian.

Kapan saja dan di mana saja. Tidak saja ketika usia kita sudah uzur atau

ketika tubuh sakit-sakitan. Namun juga saat kita "masih" di usia muda,

berada di puncak karier, dan di saat tubuh kita sehat. Kematian tidak

pandang bulu; tidak pandang usia; tidak pandang situasi dan kondisi

kita. Pemazmur bahkan mengibaratkan hidup kita ini seperti rumput; yang

di waktu pagi berkembang dan bertumbuh, akan tetapi di waktu petang ia

sudah lisut dan layu.


Lalu bagaimana? Apakah kita pasrah dan pasif saja menjalani hari-hari,

sekadar untuk menunggu kematian datang? Tidak. Kesadaran bahwa kita bisa

kapan saja dijemput kematian seharusnya mendorong kita untuk hidup

dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya. Soal kapan pun kematian itu

datang menjemput, kalau kita sudah berusaha hidup bijak dan bajik di

dalam Tuhan, kita akan menghadapinya dengan tenang. Untuk itu, kuncinya

adalah berjaga-jaga senantiasa.


YANG PENTING BUKAN KAPAN KITA MATI, TETAPI BAGAIMANA KITA HIDUP

This entry was posted on Selasa, Maret 08, 2011 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0 feed. You can leave a response, or trackback from your own site.