Mengapa di Jepang Tidak Ada Penjarahan Meski Menderita?
Jumat, Maret 25, 2011 | Author: felix prima ardy

Warga Jepang saat ini tentu saja menderita, setelah gempa dan tsunami, mereka kuatir dengan ledakan nuklir. Ribuan orang tewas. Jutaan lainnya kini terlunta-lunta. Mereka bertahan hidup tanpa rumah, kekurangan air, kekurangan pangan, dan obat-obatan. Meskipun begitu, ada satu hal yang menarik yaitu tidak adanya pemandangan penjarahan supermarket.

Padahal dalam berbagai bencana di sejumlah negara, penjarahan kerap terjadi. Usai gempa dahsyat di Haiti dan Chile, usai banjir besar di Inggris tahun 2007, indonesia, maupun usai badai Katrina di Amerika Serikat. Semua penduduknya menjarah bahan pangan untuk bertahan hidup. Tapi ini tidak terjadi di Jepang. Mengapa?

Jurnalis Ed West dalam artikelnya di Telegraph yang tengah berada di Jepang mengaku kaget melihat bagaimana budaya Jepang yang masih sangat disiplin meski di tengah bencana dan kesusahan. Ed melihat bagaimana supermarket justru menurunkan harga bahan makanannya, bukannya menaikkan ataupun mengambil untung. Bahkan di sejumlah mesin penyedia makanan dan minuman otomat juga dibuka secara gratis. “Rakyat bekerja sama untuk selamat semuanya,” ujar Ed.

Bisa jadi ini merupakan budaya Jepang yang sudah tertanam begitu dalam di alam bawah sadar mereka. Ada nilai-nilai yang tetap dijalani dalam kondisi apapun. Tanggapan beberapa pembaca CNN mengapa warga Jepang tidak menjarah toko untuk bertahan hidup yaitu “Dua kata : Kebanggaan nasional. Warga Jepang sangat menyintai negara mereka, dan rela melakukan apapun untuk itu. Ini berbeda dengan Amerika Serikat. Kami warga AS memang cinta AS tapi kami melakukan apa saja untuk diri kami dulu.” Itulah salah satunya.

Warga Jepang tidak melihat bencana ini sebagai kesempatan untuk mencuri apapun. Kita salut dan bangga pada mereka. Senantiasa bawa Jepang dalam doa Anda. Dan mari kita mulai belajar kepada rakyat Jepang, mereka memberi ‘terang’ di tengah situasi mereka yang serba susah itu. GBU... :)

Filipi 4:13

"Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku."

Saat keadaan tidak baik-baik saja disitulah tangan Allah yang kuat terasa begitu nyata.

Acres of Diamonds” — a true story.
Selasa, Maret 08, 2011 | Author: felix prima ardy

Seorang anak gadis kecil sedang berdiri terisak didekat pintu masuk sebuah gereja yang tidak terlalu besar, ia baru saja tidak diperkenankan masuk ke gereja tersebut karena “sudah terlalu penuh”. Seorang pastur lewat didekatnya dan menanyakan kenapa si gadis kecil itu menangis, “Saya tidak dapat ke Sekolah Minggu” kata si gadis kecil.


Melihat penampilan gadis kecil itu yang acak acakan dan tidak terurus, sang pastur segera mengerti dan bisa menduga sebabnya si gadis kecil tadi tidak disambut masuk ke Sekolah Minggu. Segera dituntunnya si gadis kecil itu masuk ke ruangan Sekolah Minggu di dalam gereja dan ia mencarikan tempat duduk yang masih kosong untuk si gadis kecil.


Sang gadis kecil ini begitu mendalam tergugah perasaan nya, sehingga pada waktu sebelum tidur di malam itu, ia sempat memikirkan anak-anak lain yang senasib dengan dirinya yang seolah olah tidak mempunyai tempat untuk memuliakan Jesus.


Ketika ia menceritakan hal ini kepada orang tuanya, yang kebetulan merupakan orang tak berpunya, sang ibu menghiburnya bahwa si gadis masih beruntung mendapatkan pertolongan dari seorang pastur. Sejak saat itu, si gadis kecil


“berkawan” dengan sang pastur. Dua tahun kemudian, si gadis kecil meninggal di tempat tinggalnya didaerah kumuh,dan sang orang tuanya meminta bantuan dari si pastur yang baik hati untuk prosesi pemakaman yang sangat sangat sederhana. Saat pemakaman selesai dan ruang tidur si gadis di rapihkan, sebuah dompet usang, kumal dan sobek sobek ditemukan, tampak sekali bahwa dompet itu adalah dompet yang mungkin ditemukan oleh si gadis kecil dari tempat sampah.


Didalamnya ditemukan uang receh sejumlah 57 cents dan secarik kertas bertuliskan tangan, yang jelas kelihatan ditulis oleh seorang anak kecil yang isinya: “Uang ini untuk membantu pembangunan gereja kecil agar gereja tersebut

bisa diperluas sehingga lebih banyak anak anak bisa menghadiri ke Sekolah Minggu”


Rupanya selama 2 tahun, sejak ia tidak dapat masuk ke gereja itu, si gadis kecil ini mengumpulkan dan menabungkan uangnya sampai terkumpul sejumlah 57 cents untuk maksud yang sangat mulia.


Ketika sang pastur membaca catatan kecil ini, matanya sembab dan ia sadar apa yang harus diperbuatnya. Dengan berbekal dompet tua dan catatan kecil ini, sang pastur segera memotivasi para pengurus dan jemaat gerejanya untuk meneruskan maksud mulia si gadis kecil ini untuk memperbesar bangunan gereja.


Namun Ceritanya tidak berakhir sampai disini. Suatu perusahaan koran yang besar mengetahui berita ini dan mempublikasikannya terus-menerus. Sampai akhirnya seorang Pengembang membaca berita ini dan ia segera


menawarkan suatu lokasi yang berada didekat gereja kecil itu dengan harga 57 cents, setelah para pengurus gereja menyatakan bahwa mereka tak mungkin sanggup membayar lokasi sebesar dan sebaik itu.


Para anggota jemaat pun dengan sukarela memberikan donasi dan melakukan pemberitaan, akhirnya bola salju yang dimulai oleh sang gadis kecil ini bergulir dan dalam 5 tahun, berhasil mengumpulkan dana sebesar 250.000 dollar, suatu jumlah yang fantastik pada saat itu (pada pergantian abad, jumlah ini dapat membeli emas seberat 1 ton).


Inilah hasil nyata cinta kasih dari seorang gadis kecil yang miskin, kurang terawat dan kurang makan,namun perduli pada sesama yang menderita. Tanpa pamrih, tanpa pretensi.


Saat ini,jika anda berada di Philadelphia, lihatlah Temple Baptist Church, dengan kapasitas duduk untuk 3300 orang dan Temple University, tempat beribu-ribu murid belajar. Lihat juga Good Samaritan Hospital dan sebuah bangunan special untuk Sekolah Minggu yang lengkap dengan beratus ratus (yah, beratus ratus) pengajarnya, semuanya itu untuk memastikan jangan sampai ada satu anakpun yang tidak mendapat tempat di Sekolah MInggu.


Didalam salah satu ruangan bangunan ini, tampak terlihat foto si gadis kecil, yang dengan tabungannya sebesar 57 cents, namun dikumpulkan berdasarkan rasa cinta kasih sesama yang telah membuat sejarah. Tampak pula berjajar rapih foto sang pastur yang baik hati yang telah mengulurkan tangan kepada si gadis keci miskin itu, yaitu pastor DR.Russel H.Conwell penulis buku “Acres of Diamonds” — a true story.


Kenyataan sejarah yang collosal ini bisa memberikan petunjuk kepada kita semua apa yang dapat DIA lakukan terhadap uang 57 cents.

Sahabat Andoy
Selasa, Maret 08, 2011 | Author: felix prima ardy

Ada seorang bocah kelas 4 SD di suatu daerah di Milaor Camarine Sur (Filipina) yang setiap hari mengambil rute melintasi daerah tanah berbatuan dan menyeberangi jalan raya yang berbahaya dimana banyak kendaraan yang melaju kencang dan tidak beraturan. Setiap kali berhasil menyeberangi jalan raya tersebut, bocah ini mampir sebentar ke Gereja setiap pagi hanya untuk menyapa Tuhan. Tindakannya selama ini diamati oleh seorang Pendeta yang merasa terharu menjumpai sikap bocah yang lugu dan beriman tersebut.


"Bagaimana kabarmu Andoy? Apakah kamu akan ke sekolah ?"

"Ya, Bapa Pendeta!" balas Andoy dengan senyumnya yang menyentuh hati Pendeta tersebut.

Dia begitu memperhatikan keselamatan Andoy sehingga suatu hari dia berkata kepada bocah tersebut, "Jangan menyeberang jalan raya sendirian, setiap kali pulang sekolah kamu boleh mampir ke Gereja dan saya akan menemani kamu ke seberang jalan, jadi dengan cara tersebut saya bisa memastikan kamu pulang ke rumah dengan selamat."


"Terima kasih, Bapa Pendeta."

"Kenapa kamu tidak pulang sekarang?? Apakah kamu tinggal di Gereja setelah pulang sekolah?"


"Aku hanya ingin menyapa kepada Tuhan .. sahabatku."

Dan Pendeta itu segera meninggalkan Andoy untuk melewatkan waktunya di depan altar berbicara sendiri, tapi kemudian Pendeta tersebut bersembunyi di balik altar untuk mendengarkan apa yang dibicarakan Andoy kepada Bapa di Surga.



"Engkau tahu Tuhan, ujian matematikaku hari ini sangat buruk, tetapi aku tidak mencontek walaupun temanku melakukannya. Aku makan satu kue dan minum airku. Ayahku mengalami musim paceklik dan yang bisa kumakan hanyalah kue ini. Terima kasih buat kue ini Tuhan!. Aku tadi melihat anak kucing malang yang kelaparan dan aku memberikan kueku yang terakhir buatnya.. Lucunya, aku nggak begitu lapar. Lihat, ini selopku yang terakhir, aku mungkin harus berjalan tanpa sepatu minggu depan. Engkau tahu ini sepatu ini akan rusak, tapi tidak apa-apa .. paling tidak aku tetap dapat pergi ke sekolah.


Orang-orang berbicara bahwa kami akan mengalami musim panen yang susah bulan ini, bahkan beberapa temanku sudah berhenti sekolah. Tolong bantu mereka supaya bisa sekolah lagi, tolong Tuhan??

Oh ya, Engkau tahu Ibu memukulku lagi. Ini memang menyakitkan, tapi aku tahu sakit ini akan hilang, paling tidak aku masih punya seorang Ibu,


Tuhan. Engkau mau lihat lukaku??? Aku tahu Engkau mampu menyembuhkannya, disini .. disini .. aku rasa Engkau tahu yang ini khan ..?? Tolong jangan marahi Ibuku ya ..??? Dia hanya sedang lelah dan kuatir akan kebutuhan makanan dan biaya sekolahku.. Itulah mengapa dia memukul kami.


Oh Tuhan, aku rasa aku sedang jatuh cinta saat ini. Ada seorang gadis yang cantik di kelasku, namanya Anita... Menurut Engkau apakah dia akan menyukaiku ??? Bagaimanapun juga paling tidak aku tahu Engkau tetap menyukaiku karena aku tidak usah menjadi siapapun hanya untuk menyenangkanMu. Engkau adalah sahabatku.

Hei.. ulang tahunMu tinggal dua hari lagi, apakah Engkau gembira??


Tunggu saja sampai Engkau lihat, aku punya hadiah untukMu. Tapi ini kejutan bagiMu. Aku berharap Engkau akan menyukainya.Ooops aku harus pergi sekarang."


Kemudian Andoy segera berdiri dan memanggil Pendeta itu, "Bapa Pendeta.. Bapa Pendeta.. aku sudah selesai bicara dengan sahabatku, anda bisa menemaniku menyeberang jalan sekarang!"


Kegiatan tersebut berlangsung setiap hari, Andoy tidak pernah absen sekalipun. Pendeta Agaton berbagi cerita ini kepada jemaat di Gerejanya setiap hari Minggu karena dia belum pernah melihat suatu iman dan kepercayaan yang murni kepada Allah.. suatu pandangan positif dalam situasi yang negatif.


Pada hari Natal, Pendeta Agaton jatuh sakit sehingga dia tidak bisa memimpin gereja dan dirawat di rumah sakit. Gereja diserahkan pengelolaannya kepada 4 wanita tua yang tidak pernah tersenyum dan selalu menyalahkan segala sesuatu yang orang lain perbuat. Mereka juga sering mengutuki orang yang menyinggung mereka.


Mereka sedang berlutut memegangi rosario mereka ketika Andoy tiba dari pesta natal di sekolahnya, dan menyapa "Halo Tuhan.. aku ...'

"Kurang ajar kamu bocah!!! Tidakkah kamu lihat kami sedang berdoa??!!! Keluar!!!"

Andoy begitu terkejut, " Di mana Bapa Pendeta Agaton ..??? Dia seharusnya membantuku menyeberangi jalan raya.. Dia selalu menyuruhku mampir lewat pintu belakang Gereja. Tidak hanya itu, aku juga harus menyapa Tuhan Yesus - ini hari ulang tahunNya, aku punya hadiah untukNya."


Ketika Andoy mau mengambil hadiah tersebut dari dalam bajunya, seorang dari keempat wanita itu menarik kerahnya dan mendorongnya keluar Gereja. Sambil membuat tanda salib ia berkata "Keluarlah bocah .. kamu akan mendapatkannya !!!"


Oleh karena itu Andoy tidak punya pilihan lain kecuali sendirian menyeberangi jalan raya yang berbahaya tersebut di depan Gereja. Dia mulai menyeberang. Ketika tiba-tiba sebuah bus datang melaju dengan kencang - di situ ada tikungan yang tidak terlihat pandangan. Andoy melindungi hadiah tersebut di dalam saku bajunya, sehingga dia tidak melihat datangnya bus tersebut. Waktunya hanya sedikit untuk menghindar .. dan Andoy tewas seketika. Orang-orang disekitarnya berlarian dan mengelilingi tubuh bocah malang tersebut yang sudah tak bernyawa.


Tiba-tiba, entah muncul dari mana ada seorang pria berjubah putih dengan wajah yang halus dan lembut namun penuh dengan air mata datang dan memeluk tubuh bocah malang tersebut. Dia menangis. Orang-orang penasaran dengan dirinya dan bertanya, " Maaf Tuan, apakah anda keluarga bocah malang ini? Apakah anda mengenalnya?" Pria tersebut dengan hati yang berduka karena penderitaan yang begitu dalam segera berdiri dan berkata," Dia adalah sahabatku." Hanya itulah yang dia katakan. Dia mengambil bungkusan hadiah dari dalam baju bocah malang tersebut dan menaruhnya di dadanya. Dia lalu berdiri dan membawa pergi tubuh bocah malang tersebut dan keduanya kemudian menghilang. Kerumunan orang tersebut semakin penasaran...


Di malam Natal, Pendeta Agaton menerima berita yang sungguh mengejutkan. Dia berkunjung ke rumah Andoy untuk memastikan pria misterius berjubah putih tersebut. Pendeta itu bertemu dan bercakap-cakap dengan kedua orang tua Andoy.


"Bagaimana anda mengetahui putera anda meninggal ?"

"Seorang pria berjubah putih yang membawanya kemari." ucap ibu Andoy

terisak.

"Apa katanya ?"


Ayah Andoy berkata ,"Dia tidak mengucapkan sepatah katapun. Dia sangat berduka. Kami tidak mengenalnya namun dia terlihat sangat kesepian atas meninggalnya Andoy. Sepertinya Dia begitu mengenal Andoy dengan baik. Tapi ada suatu kedamaian yang sulit untuk dijelaskan menegani Dirinya. Dia menyerahkan anak kami dan tersenyum lembut. Dia menyibakkan rambut Andoy dari wajahnya dan memberikan kecupan di keningnya kemudian Dia membisikkan sesuatu .."


"Apa yang dia katakan ?"

"Dia berkata kepada puteraku .." ujar sang Ayah, "Terima kasih buat kadonya. Aku akan segera berjumpa denganmu. Engkau akan bersamaku." Dan sang Ayah melanjutkan, "Anda tahu kemudian . semuanya itu terasa begitu indah.. Aku menangis tetapi tidak tahu mengapa bisa demikian. Yang aku tahu aku menangis karena bahagia.. Aku tidak dapat menjelaskannya Bapa Pendeta, tetapi ketika Dia meninggalkan kami ada suatu kedamaian yang memenuhi hati kami, aku merasakan kasihnya yang begitu dalam di hatiku.. Aku tidak dapat melukiskan sukacita di dalam hatiku. Aku tahu puteraku sudah berada di Surga sekarang. Tapi tolong katakan padaku, Bapa Pendeta.. siapakah Pria ini yang selalu bicara dengan puteraku setiap hari di Gerejamu ? Anda seharusnya mengetahui karena anda selalu berada disana setiap hari, kecuali pada waktu puteraku meninggal ."


Pendeta Agaton tiba-tiba merasa air matanya menetes di pipinya, dengan lutut gemetar dia berbisik," Dia tidak berbicara dengan siapa-siapa .. kecuali dengan Tuhan."


Kualitas Hidup
Selasa, Maret 08, 2011 | Author: felix prima ardy

Pak Permana meninggal dunia," kata teman saya di telepon. Saya

terkesiap. Dua hari lalu saya sempat bertemu dengan Pak Permana.

Masih segar bugar. Kami ngobrol ngalor-ngidul, sambil bersenda gurau dan

tertawa-tawa. Tidak ada tanda-tanda sedikit pun hidup Pak Permana akan

sesingkat itu. Rupanya, Pak Permana terkena serangan jantung.

Sehabis bermain tenis, ia mengeluh dadanya sakit. Lalu, tidak lama

sesudah itu ia pingsan. Dalam perjalanan ke rumah sakit, ia mengembuskan

napasnya yang terakhir.


Begitulah hidup. Sangat ringkih. Bisa dibilang, kita ini berada di bawah

bayang-bayang kematian. Setiap saat kita bisa dijemput oleh kematian.

Kapan saja dan di mana saja. Tidak saja ketika usia kita sudah uzur atau

ketika tubuh sakit-sakitan. Namun juga saat kita "masih" di usia muda,

berada di puncak karier, dan di saat tubuh kita sehat. Kematian tidak

pandang bulu; tidak pandang usia; tidak pandang situasi dan kondisi

kita. Pemazmur bahkan mengibaratkan hidup kita ini seperti rumput; yang

di waktu pagi berkembang dan bertumbuh, akan tetapi di waktu petang ia

sudah lisut dan layu.


Lalu bagaimana? Apakah kita pasrah dan pasif saja menjalani hari-hari,

sekadar untuk menunggu kematian datang? Tidak. Kesadaran bahwa kita bisa

kapan saja dijemput kematian seharusnya mendorong kita untuk hidup

dengan sebaik-baiknya dan sebenar-benarnya. Soal kapan pun kematian itu

datang menjemput, kalau kita sudah berusaha hidup bijak dan bajik di

dalam Tuhan, kita akan menghadapinya dengan tenang. Untuk itu, kuncinya

adalah berjaga-jaga senantiasa.


YANG PENTING BUKAN KAPAN KITA MATI, TETAPI BAGAIMANA KITA HIDUP